Restu


“Kenapa kau masih di sini?” Aku menunduk, enggan menatap wajahnya. Kupandangi padang ilalang yang mulai menguning di depan sana. Embusan angin senja mulai terasa menusuk kulit-dingin. Kulipat kedua tangan dan menyilangkannya di dada.


“Apa kau benar-benar ingin sendiri?” tanya laki-laki bertubuh tinggi dengan garis memesona, terlebih jambang tipis yang mempertegas ketampanannya. Laki-laki yang telah mengisi cerita hidupku selama dua tahun.


“Bukan hanya sendiri, aku ingin kau pergi dari hidupku!” urat leherku menegang. Ada rasa benci yang masih hinggap di dada, namun ada rasa cinta yang tak mungkin bisa kupungkiri. Cinta yang selama ini telah terpatri.


“Apa kau yakin dengan ucapanmu?”

“Tentu!” tegasku.

Tiba-tiba laki-laki itu menarik lenganku. Merengkuh tubuhku dalam pelukan eratnya. Aku berusaha melepaskan tubuhku darinya. Tapi, dia semakin erat memelukku, hingga aku dapat merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang. Nafasnya memburu, sedangkan manik matanya masih menatapku tajam. Manik mata yang selalu membuatku luluh tak berdaya.

“Lepaskan!” teriakku.

“Apa kau ingin kita berpisah? Apa kau ingin pergi dariku? Apa kau sudah tak mencintaiku lagi, Jane? Jawab!” Dia berteriak, kedua tangannya memegangi lenganku.

Aku membisu dan mencoba mengalihkan pandangan.

“Tatap mataku Jane. Katakan kalau kau sudah tak mencintaiku lagi.” Dia melepaskan tanganya dan membiarkanku sesaat pada kebisuan yang menyesakkan batin.

“Kemarilah,” dia kembali meraih jemariku. Sedangkan aku masih berdiri mematung dengan kebisuan yang tak tahu akan sampai kapan berakhir. Dia memeluk tubuhku dari belakang. Disandarkan dagunya di atas bahuku. Dekat sekali. Bahkan kali ini aku bisa merasakan embusan nafas hangatnya di telinga hingga menjalar di pipi.


Sungguh kali ini aku tak tahu harus melakukan apa. Hatiku luluh, dengan sikapnya. Tetesan embun hangat tak terasa muncul di sudut mata. Dia mulai membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Jemarinya menyentuh lembut pipi dan menyapu air mataku.

“Jane apakah kau ingat? Kenapa kita saling suka? Karena kita benci hal yang sama.” Laki-laki itu meraih kedua tanganku dan mengecupnya dengan lembut, sangat lembut.

“Tapi aku harus pergi Bil,” ucapku lirih.

“Pergilah bersamaku, aku akan selalu menemani, kemanapun kamu pergi.”

“Bagaimana dengan orang tuamu?”

“Lupakan itu, yang aku tahu saat ini aku akan selalu ada untukmu. Kita akan buat lembaran cerita baru. Lembaran cerita penuh dengan cinta.”

Kupeluk erat tubuh Billy. Merasakan damai yang mulai menguasai jiwa. Walau, aku tahu cintaku tak akan pernah dapat restu dari orang tuanya. Namun, bersamanya aku bisa melewati semua kesedihan yang menimpaku. Kujalani kisah ini bersamanya hingga nanti, restu orang tuanya berlabuh dalam sebuah kata keikhlasan.

Senja mulai bergulir meninggalkan jejak jingga keemasan yang menyurut di ufuk barat. Kuayunkan langkahku bersama laki-laki yang sangat aku cintai, menuju tempat baru untuk menggapai mimpiku. Bukan hanya mimpiku, tapi mimpinya juga. Mimpi untuk mematrikan ikatan suci cinta kita, walau tanpa restu orang tuanya.

Komentar

  1. restu orang tua selalu bikin dilema ya 😢

    BalasHapus
  2. hmm, but org tua is all of our life.. ridha Allah terletak pd ridha kedua ortu

    BalasHapus
  3. hmm, but org tua is all of our life.. ridha Allah terletak pd ridha kedua ortu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus