Murid kecilku
Foto: pinterest.com
Perlahan kuhampiri Aliya, mengajaknya tersenyum. Tapi, dia sama sekali tak memperdulikan kehadiranku. Pandangannya kosong. Kududuk di samping Aliya, dan mulai menepuk pelan pundaknya. Dia terperangah, kaget.
"Eeh kakak," ucapnya.
"Kamu kenapa melamun? Kenapa nggak ikut bermain dengan teman-teman lainnya?" tanyaku.
Dia hanya menggeleng, tak lama kemudian menundukan pandangannya.
"Apa ada masalah? Ceritalah pada kakak." Aku berusaha membujuk Aliya.
"Ka apa benar aku anak bodoh?" tatapan matanya sangat polos.
"Kata siapa? Kamu pintar. Buktinya kamu sekarang sudah hafal surat-surat pendek. Iya kan?"
"Ayah sering bilang, kalau aku anak bodoh. Ayah sering marah-marah sama aku." Aliya kembali menampakkan raut kesedihannya.
"Itu tidak benar. Kamu anak yang cerdas. Sudah, jangan kamu pikirkan ucapan ayahmu itu. Kita buktikan kalau Aliya adalah anak yang pandai."
" Bagaimana caranya kak?"
"Aliya harus belajar lebih giat lagi. Aliya harus bisa menghafal juz 30 lebih cepat."
"Iya kak, aku mau belajar yang rajin."
"Ayo kita masuk ke rumah, belajar bareng kakak lagi."
Aku mengajak Aliya untuk masuk, dan mulai mengajaknya belajar menghafal surat-surat pendek lagi. Suasana rumahku selalu ramai jika sore hari. Anak-anak selalu datang selepas asar untuk belajar mengaji bersamaku. Mau tak mau, ruang tamu kecil, kini telah kusulap menjadi tempat belajar ngaji.
Aku yang tak pernah mendapat bayaran merasa sangat senang ketika melihat anak-anak didikku menjadi pintar mengaji. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Sebuah kebahagian tersendiri yang tak akan pernah ternilai harganya ketika melihat meteka semakin bersemangat mengaji. (Selesai)
#30Dwc
#Day28
#ODOP
Semangat!
BalasHapusSemangka....
HapusMana semangka
keren keren, kebahagiaan yg sederhana
BalasHapusKisah sejati?
BalasHapus