Bayangan Senja

By, pinterest.com



Aku masih menatap sosok tua penuh keriput. Laki-laki yang dulunya gagah penuh wibawa, kini hanya mampu duduk di teras rumah menatap senja yang mulai menyapa. Dimatanya tampak jelas kebahagian, saat dia melihat cucunya asik berlarian di halaman rumah. Sesekali ujung bibirnya tertarik, melengkung indah saat Keisya memanggilnya.

"Kakek," sapa Keisya seraya meneruskan main.

Laki-laki itu melambaikan tangan, gigi ompongnya terlihat saat dia tertawa. Dia ayahku, laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku. Urat-urat yang timbul di balik kulitnya yang cokelat menandakan betapa hidupnya penuh dengan kerja keras dan pengorbanan. Pengorbanan untukku tentunya.

Bagiku, ayah adalah pahlawan yang sangat berarti dalam hidup. Seluruh pengorbanan, cinta dan kasih sayangnya begitu ikhlas tercurah. Sedangkan aku belum sempat membahagiakannya.

Ah, mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat lukisan sedih di wajahnya. Dua tahun hidup sendiri tanpa pedamping hidup yang sangat dicintainya, tentunya menorehkan rasa pilu dan kesedihan yang mendalam. Sedangkan dia tetap angkuh, dia tetap berusaha tegar walau aku tahu hidupnya tak lagi berwarna. Sunyi. Sepi sendirian menanti panggilan Tuhan.

Sungguh aku benci kata-kata itu.
"Nduk, Bapak ini sudah tua, tinggal menanti waktu panggilan Tuhan saja,"
Itu yang sering dia ucapkan saat aku berusaha membujuknya untuk tinggal bersamaku.

Dia masih membisu, manik matanya bergerak ke kanan dan kiri mengikuti langkah Keisya yang asik berlarian. Dia masih seperti yang dulu, berusaha tegar dan menyembunyikan kesedihannya. Sebenarnya aku tahu, ayahku sangat kesepian.

Perlahan ku beranjak, berdiri tepat di belakang punggung ayah. Kusandarkan daguku di atas bahu ayah. Bahu yang telah memikul beban hidup yang begitu berat. Tangan ini hanya mampu meraba lengan yang mulai ringkih.

"Pak, ayo Bapak ikut kerumahku saja. Setidaknya disana Bapak tak merasa sendiri," ucapku lirih tepat di sisi telinganya.

"Bapak tak pernah sendiri Nduk. Di sini di rumah ini begitu banyak kenangan indah bersama ibumu. Bapak tak pernah kesepian, karena setiap saat bisa bercanda dengan bayangan ibumu.

"Sampai kapan Bapak terus keras kepala seperti ini?"

"Sampai saatnya nanti ...," jawabnya.

Sungguh aku benci dengan ucapan Ayahku. Entah kenapa dia bisa setia hidup dengan bayangan dan kenangan ibu. Yang aku tahu, ayah begitu mencintai ibu, hingga dia tak rela melepas semua kenangan yang ada. Lagi-lagi aku kalah membunjuknya. Ayahku tetaplah laki-laki yang kuat pendirian. Laki-laki yang pandai menyembunyikan kesepiannya di hari senjanya.

***
#30DWC #Days2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus