Menatap Asa



https://pinterest.com/pin/804033339693517974/?source_app=android

Wulan jalan terhuyung melintasi gang sempit menuju pemukiman. Tampak jelas gurat lelah yang membingkai kusut di wajahnya. Langkahnya lambat, pandangannya menunduk menatap jalan yang di lalui. Seluruh tenaganya seolah habis terkuras di tempat kerjanya. Buruh pabrik, ya itu adalah statusnya saat ini. Dan hanya pekerjaan itulah yang menjadi alasan Wulan mampu bertahan hidup di tengah hiruk pikuk kehidupan di kota buruh.

Waktu menunjukan pukul 21.45 WIB. Suasana pemukiman semakin sunyi, hanya ada beberapa orang yang melintas. Mereka juga sama, seorang karyawan pabrik yang baru pulang kerja shift malam.

"Baru pulang mba?" sapa tetangganya yang kebetulan melintas.

"Iya pak," jawab Wulan datar.

Wulan berlalu, bergegas memasuki gang kelinci menuju rumah petaknya. Kompleks kumuh yang begitu banyak di padati rumah-rumah petak tanpa fasilitas ruangan terbuka yang luas untuk bermain para anak-anak. Namun, Wulan sudah lebih dari tujuh tahun tinggal disana. Selain sewa rumah yang cukup murah, jarak menuju tempat kerjanya tidak terlalu jauh. Tentunya Wulan bisa mengalihkan uang transportasi untuk membeli susu anaknya.

"Aaah ..., brengsek!" umpat Wulan kaget, karena kakinya ditabrak tikus got berukuran besar.

Mungkin tikus pun sudah pada mabuk, karena terlalu mudah berjumpa dengan manusia. Bisa juga tikus-tikus telah kehilangan ruang gerak. Mangkanya kerap kali tikus menabrak langkah orang yang berlalu lalang. Terkadang juga nasibnya berakhir di bawah roda kendaraan.

Sesampainya di depan rumah petak, Wulan langsung mengganti sepatunya dengan sendal jepit. Dia bergegas menuju ke kamar mandi yang berada di ujung rumah petak. Wulan segera membersihkan muka, kaki dan tangan sebelum memasuki rumah. Kamar mandi yang digunakan bersama dengan para tetangga lainnya tentu meninggalkan aroma tak sedap dan berkesan sangat kotor.

Wulan membuka pintu rumah yang kebetulan tidak dikunci. Rumah yang langsung menghantarkan pandangan pada kasur dan dua manusia yang sedang terlelap dalam buaian mimpi. Di pandangi sosok laki-laki dengan wajah lelahnya, serta anak kecil berusia tiga tahun dengan wajah yang lucu dan cantik.

Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi Wulan. Dadanya sesak, pikirannya pun kacau. Telah lama Wulan menginginkan tempat tinggal yang nyaman untuk keluarganya. Rumah yang cukup luas dengan halaman rumah yang bisa dijadikan tempat Azkiya, anaknya berlarian. Wulan jenuh dengan keadaan ini. Namun apalah daya, gajih wulan dan suaminya yang hanya sebagai buruh pabrik hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Mamah sudah pulang?" tanya suaminya yang mulai terbangun karena kehadiran Wulan.

"Iya Mas." Wulan langsung menyeka air mata yang membasahi pipi dengan jemarinya.

"Loh, ko Mamah nangis. Ada apa Mah?" tanya Andre suaminya yang langsung duduk menatap wajah istrinya.

Wulan masih diam.

"Mamah capek?" tanya Andre kembali.

"Nggak Mas, aku hanya lelah dengan keadaan seperti ini. Aku lelah dengan lingkungan ini.

"Mamah mau pindah?"

Wulan mengangguk tanpa ucapan.

"Mah, bagaimana kalau kita pindah ke kampung saja. Sebenarnya Mas ingin mengatakan ini sejak lama."

"Ke kampung Mas?" tanya Wulan kaget.

"Iya. Nanti uang pesangon kita, bisa untuk modal usaha di kampung. Harga rumah di kampung juga murah, siapa tahu kita bisa beli rumah yang murah di sana."

"Kamu yakin Mas?"

Andre mengangguk. Tiba-tiba pikiran Wulan melayang jauh di tempat kelahirannya. Suasana pedesaan yang asri. Masyarakat yang ramah. Udara yang sejuk, serta aroma hujan di desa yang sangat dirindukan. Bahkan setiap pulang kampung Azkiya selalu terhibur dengan bebek yang berenang di sungai. Serta pelangi yang terlukis indah membentang di langit, setelah hujan pun masih bisa dia temui.

"Gimana Mah, apa kamu setuju?" tanya Andre pada Wulan.

Wulan mengangguk tanda setuju. Bibirnya tersenyum indah menatap masa depan di ujung sana.

***

Komentar

  1. Sederhana, tapi mengalir.. Keren mba nana..

    BalasHapus
  2. Eehh ngomongnya, nggak boleh gitu. Astagfirullah nggak boleh ngomong kasar ahahaha..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus