CINTA TERPENDAM


Aku masih mematung, menatapnya dari kejauhan. Dia masih asik berbincang dengan beberapa temannya. Tawanya terlihat indah, mungkin ada hal lucu yang sedang mereka bicarakan. Yang aku tahu, dia begitu memesona. Sesekali pandangannya beredar, menyusuri keramaian. Suara musik yang menggema, memecahkan konsentrasiku yang masih memuja ketampanannya dari jauh.

Mata indah dengan manik hitam, yang penuh sorot tajam mampu membuatku melayang hanya dengan satu kerlingan. Alisnya tebal, hitam berpaut menambah kesan misterius. Bibirnya merah dengan senyuman manis yang memikat. Dagunya ditumbuhi bulu-bulu jenggot tipis yang terlihat samar, membingkai indah di kulit wajah yang putih. Sedangkan rambutnya di belah pinggir, hitam, lurus. Dialah laki-laki yang saat ini masih aku puja ketampanannya. Laki-laki yang selalu mengganggu pikiranku siang dan malam.

Otakku masih berkelana penuh dengan angan-angan. Berharap dia datang menghampiriku yang kini duduk sendiri. Meja ini sepi, sedangkan teman-temanku masih sibuk pentas di panggung. Kunikmati segelas ice lemon tea dengan khayalan bisa duduk bersama dengannya. Bercerita tentang indahnya cita-cita. Bercerita tentang kita. Bercerita tentang dia yang menyimpan rasa yang sama padaku. Aah …, itu mauku. Tapi entahlah, apakah perasaannya sama dengan yang aku rasa? Atau selama ini perhatiannya hanya sebatas pembimbing dan murid. Hanya Tuhan yang tahu pastinya.

Aku mulai bosan sendiri. Tanganku mulai sibuk mengaduk-ngaduk isi gelas lemon tea yang masih tersisa separuh.  Kugigit bibir ini, merasa kesal dengan semua khayalan yang entah, akankah jadi kenyataan. Sedangkan dia yang terus aku pikirkan masih sibuk bergurau dengan teman-temannya. Akanhkan acara perpisahan ini, menjadi pertanda perpisahanku dengannya? Sungguh aku tak mengharapkan itu. Tapi, apalah dayaku.

Aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan semua rasa ini kepadanya. Aku semakin bosan. Kuberanjak, dan berlalu meninggalkan ramainya pentas seni. Bergegas menuruni eskalator dengan membawa semua harapan akan bisa berbicara dengannya walau sesaat, sebelum aku dan dia benar-benar dipisahkan oleh jarak.
Langkahku semakin cepat menuju lantai dasar. Dia sudah tak tampak lagi dari pandanganku. Terakhir dia pun berada di lantai satu.

“Sudahlah, mungkin memang ini lah waktu perpisahan kita,” desisku kesal.

“Noura …, tunggu!” Sebuah teriakan terdengar lantang menghampiriku.

Aku berhenti, mengalihkan pandangan pada asal suara tadi. Sesaat hatiku berbunga-bunga, melihat laki-laki yang aku harapkan kehadirannya pun datang menghampiriku.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Entahlah, aku bosan dengan suasana ini.” Jawabku datar.

“Kalau begitu ayo ikut Kakak,” serunya.
Mana mungkin aku menolak ajakannya. Justru inilah yang aku tunggu, bisa ngbrol berdua dengannya. Dia mengajakku ke toko buku. Tapi dia hanya mengambil sebuah kantong dan kembali mengajakku melanjutkan perjalanan. Ingin rasanya aku bertanya tentang tujuan kita, tapi bibir ini seolah terkunci. Malu.

Sesaat aku masih membisu, mengatur semua kegugupan dan rasa gerogi yang mulai menjalari tubuhku. Panas, kemudian dingin, begitu cepat suhu tubuhku beralih. Aliran darahku seolah mengalir begitu cepat. Irama jantung terdengar tak beraturan, berdegup tak menentu. Sedangkan hidungku masih menikmati aroma parfumnya yang begitu maskulin. Aku harap dia tak memperhatikan wajah bodohku yang tak bisa menyembunyikan keteganganku dari kaca spions.

“Noura, kita berhenti sebentar ya.” Dia berlari ke kedai kebab. Dan cepat kembali menghampiriku. Dia kembali melaju motor dengan kecepatan sedang.

Akhirnya kita sampai tepat di depan danau yang indah, mengjakku duduk di sebuah bangku panjang di depan danau. Menatap keindahan danau alami yang sedikit tak terawat.

“Ini untukmu,” Dia menyerahkan satu porsi kebab dan satu cup teh tarik. “Tau Gak, dari tadi Kakak Jenuh di sana, pengen makan kebab dari kemaren. Akhirnya ada kamu yang mau menemani Kakak makan kebab di sini.

Aku hanya mengangguk dengan semua ucapannya. Entah apa yang membuatku malu dan gengsi untuk bisa berbicara banyak dengannya. Aku masih mengatur napas. Rasanya wajahku mulai merona. Tanganku dingin. Dasar bodoh! baru saja berhadapan dengan makhluk bernama laki-laki, badanku berasa hampir tumbang karena tak bisa mengontrol rasa gugup.

“Noura, setelah ini kamu akan melanjutkan kemana?” tanyanya.

“Entahlah, mungkin KUA,” jawabku sekenanya.

“Benarkah? Bagus itu.”

“Kak ..., Farid!” Aku kesal, kenapa dia seolah cuek dengan perkataanku. Ini artinya dia sama sekali tidak menyimpan rasa kepadaku. Apa harus aku mengungkapkan semua rasa ini kepadanya. Apa yang akan dia pikirkan tentangku, jika aku mengungkapkan cinta kepadanya. Oh Tuhan! Apa yang harus aku lakukan, agar dia tahu bahwa aku mencintainya. Namun aku juga takut, seandainya dia tahu perasaanku justru akan membuatnya menjaga jarak padaku.

“Ada apa sih Nourrr?”

Aku kembali membisu. Sungguh bingung apa yang harus aku katakana padanya. Malu. Tentu saja aku malu, jika harus mengungkapkan rasa ini terlebih dahulu.

“Jadi benar nih! Nggak ada yang mau dikatakan lagi?”

“Ada. Tapi …,” bibirku kembali diam, sulit rasanya untuk berbicara.

“Ya sudah kalau nggak mau ngomong, Kakak punya hadiah untukmu.” Farid menyerahkan sebuah buku fiqih wanita. “Dibaca yah, jangan Cuma dipajang. Semoga kita bisa dipertemukan kembali,” ucapnya.

Aku masih bingung dengan semua ini. Aku dan dia dekat, bahkan dia mempunyai perhatian yang lebih terhadapku. Tapi dari setiap nada bicaranya, dia tak pernah menunjukan bahwa dia menganggapku sebagai wanita spesial.  Entahlah apa yang harus aku lakukan. Apa harus aku ungkap rasa ini? Tuhan tolong aku, bantu aku agar dia tahu tentang perasaanku.

“Kenapa kok kamu sedih?” tanyanya seraya menatap wajahku yang menunduk sedih.

“Nggak papa, aku hanya ingin pulang,” ucapku sambil menahan embun hangat yang hampir saja keluar dari sudut mata.

“Ya sudah, ayo Kakak antar.”

Kak Farid langsung mengantarku pulang. Dia tak berbicara apapun lagi, hanya bilang hati-hati ya jika besok  kamu harus pergi ke luar kota. Jaga dirimu baik-baik. Sedangkan aku, aku hanya diam tanpa mampu berbicara apapun. Ya begitu bodohnya aku menyiksa batinku sendiri. Apakah seorang wanita harus terus menjaga lisan dan sikapnya, meski dia tersiksa? Sungguh rasa Maluku begitu besar, hingga kini aku kecewa dengan kebodohanku. Dan benar penyesalan selalu datang terakhir.

***
Tantangan 5 ODOP

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus