Asa yang pudar

Mbok Jumirah, wanita tua berusia tujuh puluh tahun menatap sedih kebunnya. Tanaman yang hampir saja siap panen, rusak dimakan hama ulat. Daun yang seharusnya berdiri tegak berwarna hijau, kini habis hanya sisa pucuk kuning layu. Tergeletak tanpa daya karena serangan hama hijau kecil yang sangat rakus.

Badan yang membungkuk, mencoba merabut setangkai bawang. Kurus berwarna merah muda dan berlubang. Tampaknya ulat sedang murka, tanpa ampun pada nasib petani tua seperti mbok Jumirah. Di balik kelopak matanya mulai merembak air mata yang sudah tak mampu ditampungnya lagi. Mengalir membasahi pipi keriput dengan lekukan garis-garis tua saksi kehidupan. Dadanya sesak, bibirnya tak mampu berucap apa-apa, selain air mata yang menjadi tanda kepiluan hatinya.

Padahal, di kebun itulah nasibnya di pertaruhkan. Mbok Jumirah tak punya harapan lagi, bahkan untuk membayar hutang obat-obat pertanian saja dia tak tahu harus mengharap pada siapa.

"Gusti Allah, kulo sabar, kulo ikhlas," ucap mbok Jumirah lirih, hatinya merintih.

Hari semakin sore, burung-burung pipit bermain-main dengan girang, seolah tak ada duka dan beban dalam hidupnya. Dia bebas terbang kesana-kemari, mencari makan sesuka hati. Mbok jumirah beranjak dari gubuk peristirahatan. Berdiri dengan sisa tenaga maraih tongkat kayu untuk menompang tubuhnya yang sudah tak bisa berdiri tegap.

Dia berlalu meninggalkan kesedihan di kebunnya. Berjalan menyusuri tegalan perkebunan dengan langkah gontai khas nenek tua.

"Mbok sudah mau pulang?" seru Pak Tukiman yang kebetulan menyalip langkah Mbok Jumirah.

"Iya Man," jawabnya singkat. "Gimana nasib kebunmu?" sambung Mbok Jumirah.

"Hancur Mbok, sepertinya semua nasib petani panen kali ini sama. Semua tanaman yang hampir panen terserang hama ulat. Musim hujan seperti ini bukan saja hama penyakit yang merebak kampung kita, tapi hama ulat menyerang harapan dan nasib kita ya Mbok."

Mbok Jumirah masih terdiam, mencerna semua ucapan Tukiman.

"Mbok kenapa? Mbok sakit?" tanya Tukiman melihat wajah Mbok Jumirah yang sedih dan pucat.

"Aku gak papa, hanya sedih. Tidak hanya aku yang memiliki nasib buruk, hampir semua petani saat ini paceklik, gagal panen."

"Sudah Mbok, ayo aku tuntun," ujar Tukiman melihat langkah Mbok Jumirah semakin lambat.

"Kamu duluan saja Tukiman, aku bisa pulang sendiri sambil melihat-lihat perkebunan milik yang lain.

"Baik mbok, saya duluan." Tukiman berlalu dengan langkah yang masih gagah.

Mbok Jumirah masih berusaha mengayunkan langkah kakinya yang sudah tak sekuat waktu muda. Bahkan dulu dia mampu berlari, dengan menggendong kayu bakar. Kini tenaganya pudar dimakan waktu, seperti halnya dengan tanaman bawangnya, kurus, layu dimakan hama.

Hanya petani seperti Mbok Jumirah yang tahu bagaimana rasanya kehilangan harapan hidupnya dalam setiap tangkai tanaman yang telah lama disemainya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus