Gara-Gara sepatu biru dongker

Ely memakirkan motor matic birunya, tepat di hadapan Fery yang sedang duduk di bangku panjang tak jauh dari lapangan basket. Celana jeans berwarna biru, serta kaos oblong dan rambut panjang kuncir kuda berjalan menghampiri Fery. Tatapan sinisnya membuat gadis berusia enam belas tahun itu terlihat sangat judes. Sepatu cat warna biru dongker selalu menemaninya kemana saja dia pergi. Banyak yang bilang jika rambut panjangnya itu dipotong, Ely lebih mirip seperti laki-laki.

“Kenapa loe takut lawan gua?” tanya Ely ketus pada Fery. Tanganya menantang pinggang, sesekali dia mengusap hidungnya dengan ibu jarinya.

“Takut lawan cewek jadi-jadian kaya loe, Enggak lah yo.” Fery semakin merasa penasaran dengan kemampuan Ely dalam basket.

Fery adalah anak baru di sekolah  yang sama dengan Ely. Jadi Fery belum tahu sama sekali kemampuan cewek yang disebut-sebut lady basket di sekolahnya. Fery semakin berambisi dengan tantangan Ely. Gadis yang aneh, Guman Fery. Tak sedikit pun karakter wanitanya tampak pada diri Ely. Ketus. Judes. Bergaya seperti laki-laki.

Tiga puluh menit mereka fokus pada bola basket dan ring, untuk saling mengalahkan lawan. Skor masih tinggi Ely yang unggul satu skor dari Fery. Namun saat Ely meloncat untuk memasukkan bola ke ring, kaki kanannya terkilir.

“Awww ....” Ely mengaduh kesakitan, tangannya masih memegangi kakinya yang sakit.

“Hai kenapa? Menyerah?” tanya Fery mulai mendekati Ely.

“Aku tidak menyerah.” Nada suaranya meninggi.

“Sudahlah akui saja kekalahanmu, berdiri saja kau tak bisa.”

“Tapi kita bisa melanjutkan pertandingan ini lain kali,” seru Ely dengan wajah masam. Giginya meringis menahan rasa sakit.

“Baiklah. Ayo aku bantu.” Fery membantu Ely berdiri dan memapahnya serta mengantarnya ke tukang urut.

*

Udara pagi terasa sangat sejuk. Sinar mentari hangat membelai. Anak-anak berlalu lalang memeasuki kelas masing-masing. Sedangkan Ely masih duduk di bangku panjang di taman sekolah.

“Hai, gimana kakimu?” sapa Fery menghampiri Ely yang sedang duduk sendiri.

“Lumayan membaik, walau masih sedikit nyeri.”

“Hah ..., seperti loe itu gak pernah ganti sepatu ya?” Fery memicingkan mata.

“Enak aja. Gua punya sepatu warna biru dongker itu selusin, dan semua modelnya sama. Kalau gak percaya cium aja sepatu gua, pasti wangi.” Senyumnya terukir indah di bibir Ely.

“Gua suruh cium sepatu loe? Kayaknya loe kurang waras deh.” Fery menutup hidungnya.

“Eh beneran gua nggak bohong, kalau sepatu gua itu ganti setiap hari.” Ely kembali mengusap-usap hidungnya dengan ibu jarinya.

“Ya udah masuk yuk!” Seru Fery seraya mencangklongkan tas gendongnya di pundak.

“Bantu gua dong.”

“Hmmmm,” Fery menarik napas panjangnya. “Ok, itu artinya sekarang kita teman ya, bukan lawan lagi.” Fery membantu Ely berdiri dan menggandengnya masuk ke kalas.

“Gua tahu kenapa loe ngomong gitu. Karena loe takutkan tanding basket lagi sama gua.” Tawanya terdengar riuh.

Akhirnya merekapun mulai berteman. Bermula dari ejekan sepatu cat warna biru dongker hingga mampu menyatukan dua karakter keras anatara Ely dan Fery. Sejatinya permusuhan itu tidak indah. Dan pertemananlah yang akan membawa hidup kita menjadi berwarna, tentram dan bermakna.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus