DESTINASI CINTA Part 4


Bagai dedaunan kering di musim kemarau yang panjang nan gersang. Begitupula dengan Shifa yang kini dalam penantian panjang tanpa kabar. Waktu terus berlalu hingga dia pun merasa jemu. Hampir satu tahun setelah kepergian Miftah ke India, tak satu pun kabar diterimanya.

Ditengah kesibukan kuliah semester ahir, Shifa mulai belajar untuk mengajar di sebuah sekolah menengah atas yang dikepalai oleh ayahnya sendiri. Tidak fuul time, hanya dua sampai tiga jam saja perhari. Selain itu, Shifa sering meluangkan waktu ke butik untuk membantu ibunya. Walau lelah dengan kegiatan yang begitu banyak, belum lagi menyelesaikan skripsinya, terkadang Shifa merasa lelah. Namun semua itu dilakukannya agar dia bisa menghilangkan kejenuhan dalam menanti Miftah.

Shifa yakin bahwa dengan cara menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan, waktunya akan lebih berguna dari pada hanya diam, menanti suatu yang belum pasti.

“Akan ku ikuti alur kisah ini dengan caraku,” gumam Shifa penuh semangat.

*

Berbeda dengan Ali, abangnya Shifa. Kini dia sedang melebarkan sayap dalam bisnis tart. Setelah toko kue strawberrynya cukup berkembang, kini dia membuka cabang yang letaknya tak jauh  dari butik ibunya. Bukan toko kue, namun bisa dibilang rumah ice cream. “SHIFALI ICE CREAM” itu nama rumah ice cream Ali. Sangking sayangnya Ali kepada adiknya, Shifa, ahirnya rumah ice creamnya diberi nama Shifali, gabungan nama Shifa dengan Ali.

Berbagai macam varian buah-buahan tersedia di sana. Sebuah ide dari kegemaran Shifa memakan Ice cream dan kesukaan Ali dengan berbagai macam jenis buah-buahan, hingga munculah ide untuk membuka rumah ice cream.

*

Hari ini adalah hari ulang tahun Ali, hampir saja Shifa melupakannya. Karena kesibukannya Shifa pun belum menyiapkan kado untuk abangnya. Sedangkan malam ini Shifa masih berada di rumah Maiza untuk menyelesaikan tugas.
Pukul 20.00 WIB Shifa pamit pulang, dan langsung bergegas mencari kado untuk abangnya. Ali, ayah dan ibunnya masih berada di shifali ice cream. Shifa tak sabar untuk segera berkumpul dengan keluarganya untuk merayakan syukuran kecil-kecilan atas pembukaan shifali ice cream dan syukuran untuk ulang tahun abangnya.

Dengan bersusah payah, Shifa pun ahirnya mendapatkan kado untuk Ali. Dan langsung melaju motornya menuju Shifali ice cream. Shifa melirik jam tangan, waktu menunjukan pukul sembilan malam. Shifa semakin cepat mengendarai laju motornya. Motor matic yang dikendarai seolah meliuk-liuk mengikuti alur jalan raya. Udara malam yang dingin dan embusan angin yang kencang menghempas kerudungnya sehingga terlihat berkibar-kibar.

Namun, Entah ada apa di depan jalan sana. Jalanan terlihat sangat padat. Kendaraan macet, Shifa pun tak bisa menembus keramaian. Hingga ahirnya dia memutuskan untuk memutar arah, mencari jalan lain. Shifa tak ingin abangnya merasa kecewa karena telah lama menunggu.

Tiba-tiba Shifa merasa cemas saat melintasi jalan yang sepi dan minim penerangan. Sebenarnya jalan yang dilewati Shifa adalah jalan yang jarang dilalui kendaraan. Di siang hari pun jalan itu sangat sepi, namun hanya jalan itulah satu-satunya jalan pintas yang paling dekat.
Seketika laju motornya oleng. Shifa langsung memeriksa ban motornya, dan benar saja ban motornya bocor. Shifa kembali panik, diambilnya handphone di dalam tas gendongnya. Berusaha menghubungi nomor ayahnya, namun  hapenya lowbat.

“ Ya Allah, aku mohon lindungi aku. Mana mungkin aku bisa menemukan tambal ban ditempat seperti ini,” gerutu Shifa seraya terus berjalan mendorong motornya.

Gerimis tiba-tiba turun. Tidak ada tempat untuk meneduh. Mau tak mau Shifa terus berjalan dengan mendorong motornya. Berharap ada seseorang yang melintas dan mau menolongnya. Bajunya basah kuyup, tenaganya terkuras. Napasnya mulai tersengal-sengal dan berat.

“Haha …, hahaha ….” Suara tawa seketika menghentikan langkahnya.

“Masyaallah!” Shifa tersentak kaget, saat dua orang bertubuh besar keluar dari bangunan kecil bekas bengkel yang sepertinya tidak terpakai lagi. Kumuh, kotor dan banyak barang rongsokan yang  teronggok berantakan di bangunan itu.

Dua laki-laki bertubuh besar melangkah gontai menghampiri shifa. Satu orang berkepala botak dan temannya yang berambut gondrong memegang botol minuman di tangan kirinya.

“Hai cantik, coba buka helmnya dong! Tampaknya kamu kedinginan ya, hahaha …,” ucap Si gondrong dengan tawanya.

“Hai! Jangan takut cantik. Sini Abang peluk ya, biar kamu hangat,” saut Si botak.

“Hahaha …,” tawa kedua laki-laki mabuk itu pecah dalam hujan yang semakin deras.

Shifa semakin camas. Degup jantungnya berdebar sangat kencang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera mendorong motornya dan berusaha lari sekencang-kencangnya dengan sisa tenaga. Namun belum jauh Shifa berlari, dia tersandung batu dan seketika jatuh telungkup.

Shifa mengaduh kesakitan. Tubuhnya beringsut, berusaha untuk bangun. Sekali lagi dia berusaha berlari, namun terjatuh lagi. Kakinya semakin terasa sakit. Tiba-tiba Si gondrong langsung menarik lengan dan berusaha melepas helm dari kepala Shifa. Shifa berontak dan berusaha melawan. Namun semua usahanya sia-sia, Si gondrong langsung menyeret Shifa ke tepi jalan, tepat di bawah pohon besar.

“Tolong …, tolong …, tolong …,” teriak Shifa. Suaranya parau, tenaganya semakin lemas terkuras.

“Diam!” Bentak Si botak. Ditariknya jilbab Shifa.

“Brengsek! Pergi Kau!” Shifa kembali melawan dan mencoba menarik jilbabnya kembali.

Lagi-lagi usaha Shifa sia-sia. Si botak langsung membuang jilbab Shifa. Rambut panjang hitam tergerai basah. Air mata berderai di pipi Shifa, berbaur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Teriakan tolongnya tak ada yang mendengar. Kedua preman semakin bringas. Tertawa puas melihat ketidak berdayaan Shifa.

***

Bersambung …. Nantikan kelanjutannya ya!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus