Destinasi Cinta part 2

Lembayung senja telah sirna. Embusan angin kian terasa menusuk tulang. Barisan bukit-bukit kini telah berselimut kabut. Petang mulai menyapa tatapan Shifa yang masih sayu. Sudah hampir satu bulan Shifa tinggal di Bandung, tanah kelahirannya, kota yang indah dan sejuk. Bandung memang begitu menawan.

“Maghrib Neng, jangan di bale terus. Neng kan masih lemas, jangan di luar sendirian, mending istirahat saja di kamar,” ucap nenek Mirah, seraya menggandeng Shifa masuk.

Shifa hanya mengikuti perintah neneknya. Ternyata ibu, paman, dan kakek sudah bersiap-siap untuk sholat berjamaah. Shifa bergegas mengambil air wudlu dan langsung menyusul untuk sholat berjamaah bersama keluarganya.

Selepas makan malam semua berkumpul di ruang keluarga, namun tidak dengan Shifa. Ibunya menyuruh agar Shifa beristirahat di kamar setelah minum obat.

Shifa berbaring di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Bayangan ayah dan abangnya melintas di pelupuk mata. Senyum dan tawa murid-murid ngajinya seolah tergiang di telinga. Ada kerinduan yang mendalam di lubuk hatinya. Entah kenapa mala mini hati Shifa mulai gelisah.

Shifa beranjak dari tempat tidurnya, berjalan menuju jendela kamar. Kepalanya mulai menengadah ke atas langit. Langit berselimut gelap tampak begitu indah dengan taburan bintang-bintang yang bergemelap cahayanya. Sinar rembulan pun membias indah, menampakan keayuannya.

“Indahnya , rasanya jarang sekali aku menyaksikan langit malam yang indah di Jakarta,” ucap Shifa lirih. Dia menarik napasnya dan melemparkan pandangannya ke arah barisan bukit yang di dihiasi lampu-lampu dari perumahan penduduk.

“Ya Allah, entah kenapa aku rindu pada sosok alim Miftah, tapi dia bukan siapa-siapaku. Harusnya aku tidak memikirkannya.” Shifa segera membuang jauh-jauh bayangan Miftah yang melintas di kepalanya. Dia segera menutup jendela kama, dan kembali ke tempat tidur.

*
Satu minggu kemudian Shifa memutuskan untuk kembali ke Jakarta, saat kesehatan Shifa benar-benar pulih. Masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan, walau saat ini kuliahnya sedang libur, pasca UAS. Shifa dan ibunya di antar ke Jakarta oleh Paman Lukman, yang kebetulan ada urusan bisnis di bekasi.

Honda Jazz warna merah mulai keluar dari halaman rumah nenek Mirah.

“Kakek, nenek …, aku akan sering kesini!” Teriak Shifa seraya melambaikan tangan kanannya pada sosok nenek dan kekaek yang berdiri di pekarangan rumah dengan senyum lebar dan lambaian tangan.

“Bony, Arny, aku pasti merindukan kalian,” ucap Shifa lirih. Pikirannya terus teringat pada sepasang kelinci putih yang ditinggal di rumah neneknya.

Senandung lagu khas pasundan mengiringi perjalanan Shifa. Lagi-lagi Shifa merasa takjub pada kota kelahirannya. Udara sejuk dan pemandangan indah seolah menjadi ciri khas. Beraneka ragam kuliner yang sangat memanjakan lidah, tersaji di berbagai kedai di sudut kota Bandung.

Pukul 10.15 WIB Shifa dan ibunya tiba di Jakarta. Mobil memasuki gerbang komplek perumahan, sampai akhirnya tibalah di blok C. 11. Terlihat ayah Shifa sedang sibuk dengan bunga-bunga di pelataran rumah.

“Ayah …,” teriak Shifa menghampiri.
Senyum bahagia langsung mengembang pada bibir pak Burhan saat memeluk putrinya.

“Ayah, abang mana?” tanya Shifa manja.

“Tuh di dalam,” jawab pak Burhan seraya mengusap kepala Shifa.

Shifa segera memasuki rumah, sementara ayahnya sedang ngobrol dengan ibu dan paman Shifa. Terlihat  Ali sedang mengepel lantai di ruang tengah. Senandung nasyid mengiringi aktifitas Ali. Shifa berdiri mematung, sambil memperhatikan kakaknya yang belum sadar akan kehadirannya.

“Abang, ngepelnya yang bersih ya! Awas kalau tidak bersih, gajihnya dipotong.” Celetuk Shifa meledek, tanganya menantang pinggang.

Ali tersentak kaget dan langsung meletakkan gagang pel di lantai.

“Shifa …! Kapan datang?” Ali mengahampiri Shifa dan langsung mencubit pipi adiknya.

“Hmmm, tampaknya sekarang Abang rajin ya.” Shifa tertawa meledek.

“Hai, ini tugas kamu De. Slama kamu di Bandung, mau tak mau ini jadi tugas Abang. Gimana sudah sehat De? Sekarang kelihatan kurus banget.” Ali masih memperhatikan badan adiknya yang terlihat turun drastis. “Oh iya, fans-fans kamu  setiap minggu ke sini. Mereka selalu menanyakan, Kak Shifa sudah datang atau belum? Tampaknya adik Abang ini sudah kaya artis.”

“Ihh Abang, ngomongnya panjang banget kaya kereta api, pakai jeda Kek. Shifa yang dengerinnya aja udah capek.” Shifa memenyunkan bibirnya.

“Iya maaf De.” Ali tersenyum malu.
“Fans Shifa itu maksudnya murid ngaji Shifa, Bang?”

“Iya, Siapa lagi? Mereka mungkin sudah kangen.”

“Alhamdulillah masih ada yang kangen sama Shifa.”

“Huhh …, dasar kepedean banget nih bocah. Ya sudah sanah, istirahat di kamar. Tapi nanti pijitin pundak Abang ya De, anggap saja upah karena selama sebulan gantiin tugas Ade.”

“Enak aja, gak mau ah.” Shifa mulai melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. “Abang! Nanti kalau ada yang nanyain Shifa lagi kasih tahu ya, Shifa bobo dulu ya!” teriak Shifa dari lantai atas.

“Pede banget adik abang ini yah! Memangnya ada gitu yang kangen sama kamu de,” gerutu Ali seraya melanjutkan mengepel lantai.

Ali masih serius dengan pekerjaannya. Senandung nasyid masih mengalun merdu mengiringi Ali bekerja.

***
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus