DESTINASI CINTA part 12

Sepekan telah berlalu. Shifa dan keluarganya duduk di ruang tamu Candra. Shifa masih gugup. Merasa serba salah. Tapi keyakinan akan jawaban atas lamaran Candra adalah sebuah keputusan yang harus disampaikan. Walau nantinya akan ada hati yang terluka dan kecewa.

Pak Burhan masih berbincang-bincang ringan dengan keluarganya Candra, untuk mencairkan suasana yang mulai tegang. Hingga pada akhirnya Shifa pun harus menyampaikan keputusan yang berat.

“Nak Shifa, boleh ibu tahu apa jawabanmu atas lamaran Candra? Ibu berharap Nak Shifa sudah memiliki jawaban yang baik,” ucap ibunya Candra.

Jantung Shifa berdegup semakin kencang. Bibirnya seolah kelu untuk memulai membuka kata. Gugup bercampur takut mulai menjalari tubuhnya. Perlahan dia memejamkan mata, seraya mengembuskan napas panjang yang terasa menghimpit rongga dada.

“Bismillah. Bu, Pak, dan pak Candra, jujur sebenarnya sangat sulit saya mencari jawaban atas semua ini. Bingung, bimbang saya rasakan. Hingga saya pun pasrahkan semuanya pada Allah. Saya mencari jawaban lewat sholat malam dan istikharoh dalam sepekan. Hingga saya pun mendapat petunjuk yang membuat saya yakin untuk memberi keputusan ini.”

“Nak Shifa, boleh ibu tahu apa jawabanmu atas lamaran Candra? Ibu berharap Nak Shifa sudah memiliki jawaban yang baik,” ucap ibunya Candra.

Jantung Shifa berdegup semakin kencang. Bibirnya seolah kelu untuk memulai membuka kata. Gugup bercampur takut mulai menjalari tubuhnya. Perlahan dia memejamkan mata, seraya mengembuskan napas panjang yang terasa menghimpit rongga dada.

“Bismillah. Bu, Pak, dan pak Candra, jujur sebenarnya sangat sulit saya mencari jawaban atas semua ini. Bingung, bimbang saya rasakan. Hingga saya pun pasrahkan semuanya pada Allah. Saya mencari jawaban lewat sholat malam dan istikharoh dalam sepekan. Hingga saya pun mendapat petunjuk yang membuat saya yakin untuk memberi keputusan ini.” Sejenak Shifa terdiam, mengatur napasnya.

“Kamu yakin Nak?” tanya Pak Burhan pada Shifa.

“Iya Yah, Shifa yakin. Dan Saya pun berharap semuanya bisa menerima dengan ikhlas atas keputusan saya.

Shifa kembali terdiam. Candra dan ibunya langsung berubah raut wajahnya. Namun, Candra segera menyembunyikan kekecewaannya. Dia tersenyum, namun terlihat terpaksa.

“Baiklah kalau memang begitu keputusannya. Saya pun menerima,” ucap Candra, suaranya tak seceria saat pertama Shifa datang ke rumahnya.

“Nak, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu? Atau kamu butuh waktu lagi untuk berpikir?” tanya ibunya Candra.

“Saya sudah yakin Bu. Maafkan saya jika membuat semuanya kecewa.” Shifa menundukan pandangannya.

Hingga pada akhirnya semua pun bisa menerima dengan keputusan Shifa, dan keluarga Shifa pamit untuk pulang.

***

 Pagi ini cuaca sangat cerah. Shifa dan keluarganya sibuk mempersiapkan diri untuk acara wisuda Shifa. Waktu yang telah ditunggu-tunggu Shifa sejak lama, namun waktu ini pula dia sangat merasa sedih.

Shifa dengan balutan kebaya berwarna salem, dan hiasan jilbab dengan warna senada membuat gadis ini terlihat semakin cantik. Sedikit polesan make up menghiasi keayuan wajahnya.

Shifa sempat meneteskan air mata saat berada di dalam mobil, saat perjalanan menuju kampus. Hatinya sedih. Karena terus memikirkan Miftah. Hingga pada waktu wisuda di depan mata, Miftah belum juga hadir. Jangankan orangnya, kabarnya saja tak terdengar.

‘Kak Miftah, selama ini aku selalu menunggumu. Menunggu janji yang pernah kau ungkapkan padaku. Namun, sampai detik ini kau, bahkan kabarmu tak pernah ada’ gumam shifa dalam hatinya.

 Shifa kembali meneteskan air matanya. Butiran bening itu mengalir membasahi pipinya. Gadis itu segera mengambil tisu untuk menyeka air matanya, dan segera berpaling kea rah jendela mobil.

Ali yang sejak tadi memperhatikan Shifa dari balik kemudi merasa penasaran, dan ingin segera bertanya, apa yang membuatnya menangis. Namun Ali tak ingin membuat orang tuanya khawatir, hingga dia mengurungkan niatnya. Dan membiarkan adiknya menikmati kesedihannya sesaat.

Mobil mulai memasuki gerbang dan menuju area parkir. Suasana kampus sangat ramai. Dipenuhi oleh para keluarga mahasisa yang akan diwisuda. Sekali lagi Shifa masih berharap, diantara ratusan bahkan ribuan pengunjung yang ada dikampus ini ada sosok Si alim.

Shifa mulai turun dari mobil. Ali bergegas mendekati Shifa dan berjalan beriringan. Sebenarnya Ali sudah tak sabar ingin bertanya pada adiknya, apa yang menyebabkan dia menangis dan bersedih.

“Shifa!” teriak seorang wanita, berjalan cepat menghampiri Shifa.

“Azmi? Hai …, kau cantik sekali,” ucap Shifa dengan seringai bahagia bertemu dengan sahabatnya.

Mereka berpelukan, layaknya seorang sahabat yang telah lama tak bertemu. Ali yang menyaksikan tingkah dua gadis muda itu, menggelengkan kepala dan terpaksa harus berjalan bersama orangtuanya, mebiarkan dua gadis itu jalan bersama.

“Fa, sini aku bisikin,” ucap azmi.

“Apaan sih, pakai bisik-bisikan segala.” Shifa tak memperdulikan ucapan sahabatnya, justru dia semakin mempercepat langkahnya.

“Heei, ni anak! Aku bilang ada sesuatu yang ingin aku omongin,” gerutu Azmi, berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Shifa.

“Iya ada apa?”

“Ada yang nyariin kamu.”

“Pasti dosen. Dosen siapa yang nyariin aku.”

“Bukan dosen Fa.”

“Lalu?” tanyanya kembali.

“Assalamualaikum Dik Shifa,” suara laki-laki dari arah samping, menghampiri Shifa.

“Tuh orangnya datang,” seru Azmi.

Shifa segera menoleh kea rah suara yang pernah dia kenal. Seketika jantung Shifa berdegup lebih kencang. Hatinya berdebar-debar. Matanya membulat penuh, seolah tak percaya akan kehadiran laki-laki yang selama ini dia tunggu. Bibirnya ingin berucap, namun kelu. Shifa masih berdiri mematung, menatap laki-laki yang kini sudah hadir di hadapannya.

“Kak Miftah? Benarkah ini Kakak?”

“Iya, ini saya Dik. Saya datang untuk menepati janji saya.”

“Kak, kenapa selama ini Kakak tak pernah memberi kabar. Saya kira Kakak lupa dengan semua janji Kakak,” ucap Shifa sendu. Shifa kembali meneteskan air mata haru bercampur bahagia.

“Maafkan kakak Dik. Ini semua Kakak lakukan, agar Dik Shifa tidak terpaku oleh janji saya. Seperti yang pernah saya tuliskan di surat itu, Dik shifa tak perlu menunggu, dan bebas memilih laki-laki untuk menjadi pendamping hidup Dik Shifa. Kakak mendengar kabar, bahwa Dik Shifa menolak lamaran seorang pria. Maka saya bisa menyimpulkan bahwa, Dik Shifa masih menunggu saya.”

“Tunggu Ka, dari mana Kakak tahu, semua kabar tentang saya?”

“Dari Azmi. Azmi adalah sepupu saya Dik. Setiap saat saya bertanya tentang kabar Dik Shifa pada Azmi.”

“Kau jahat Mi!” ucap Shifa pada Azmi. Shifa kesal, bibirnya mengerucut.

“Maafkan saya fa, tapi semua ini adalah permintaan Kak Miftah.”

“Sudah Dik, jangan marah. Apa Dik Shifa tak bahagia dengan kehadiran saya?” seru Miftah.

“Kenapa Kakak tega menyiksaku dengan ketidak pastian?”

“Ini semua Kakak lakukan, agar cinta kita tetap suci dengan ridha-Nya hinggs nsnti kits menjadi suami isteri,” ucap Miftah lembut. Tawanya menyeringai.

Shifa tersipu malu, pipinya merona seperti buah tomat yang sudah matang.

“Ooh jadi ini alasan kenapa adik Abang belakangan ini murung dan sedih. Rupanya kau Miftah, yang membuat adikku menangis.” Ali segera hadir mendekati Miftah, tanganya mengepal, meninju pelan lengan atas Miftah.

“Ampun Ali. Aku janji akan menebus kesedihannya.”

“Ya sudah, menikahlah dengan adikku, biar dia bisa tersenyum bahagia.”

“Abang kenal dengan Kak Miftah?” Shifa terheran-heran melihat tingkah abangnya dengan Miftah.

“Dia teman sekelas Abang, waktu SMA dulu, dek.”

Miftah dan Ali saling berpelukan. Menikmati pertemuan yang akan menjadikan mereka saudar. Sedang Shifa hanya bisa tersenyum bahagia menyaksikan semuanya. Ternyata dunia ini tak selebar daun talas. Laki-laki yang dicintainya tak lain adalah sahabat abangnya waktu SMA.

Bunga-bunga indah bermekaran di hati Shifa. Di depan matanya telah hadir laki-laki yang akan menjadi imamnya. Menempuh masa depan menuju cinta dan Ridha-Nya. Cinta yang sejati, cinta yang tak ternoda. Cinta yang tak bertepi dalam sebuah ikatan yang suci bernama pernikahan. Cinta yang membuat bidadari Surga pun cemburu.

***
Selesai …

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus