DESTINASI CINTA part 11

Waktu terus berlalu, Shifa pun sudah lulus. Tinggal menunggu waktu wisuda yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Seharusnya Shifa merasa senang layaknya teman-teman Shifa yang menikmati kelulusan dengan piknik atau camping. Kali ini justru Shifa lebih terlihat murung, bahkan dia lebih sering menyendiri di kamar.

Ali yang melihat perubahan pada adiknya, terus merasa cemas dan penasaran apa yang membuat adiknya merasa sedih. Dia mulai menaiki anak tangga menuju kamar Shifa. Dilihatnya kamar adiknya tertutup rapat. Ali mencoba mengetuk pintu perlahan.

“Dek apa boleh Abang masuk?” ucap Ali dari balik pintu.
Ali masih menunggu beberapa saat, namun belum ada jawaban dari Shifa. Dia kembali mengulangi ucapannya seraya mengetuk pintu hingga tiga kali.

“Iya Bang, masuk saja. Tidak dikunci.”

Perlahan ali memegang gagang pintu dan membukanya perlahan. Dilihat adiknya sedang berdiri di depan jendela.
“Dek kamu kenapa? Ahir-ahir ini Abang lihat, kamu sering menyendiri di kamar.”

“Tidak apa-apa Bang, Shifa baik-baik saja,” jawab Shifa datar.

“Raut wajah dan matamu tidak bisa membohongi Abang. Bagaimana kalau kita liburan sekeluarga saja Dek. Ya, hitung-hitung merayakan kelulusanmu,” ucapnya lagi dengan ekpresi penuh semangat.

“Shifa sedang tak ingin pergi kemana-mana Bang.” Shifa kembali membisu. Matanya masih menatap langit senja dari jendela kamarnya. “Bang ternyata menunggu itu sangat menyiksa ya,” ucapnya kembali.

“Memang siapa yang kamu tunggu Dek?” tanya Ali semakin penasaran.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Shifa dengan nada datar yang sama.

Saat Ali berusaha membujuk Shifa untuk menceritakan masalah yang sedang dia hadapi, tiba-tiba ayahnya sudah berdiri di depan pintu.
“Oh ternyata kalian ada disini.” Pak Burhan memasuki kamar Shifa, dan duduk di ranjang.

“Shifa nanti badha Isya akan ada tamu yang datang.”

“Tamu siapa, Yah? Tamu Ayah atau tamu Shifa?” tanya Shifa pada Ayahnya.

“Tamu untuk kita semua, jadi nanti Ayah harap kalian menyambut tamu dengan ramah.

“Memang siapa sih, Yah?” tanya Ali dengan kerutan di keningnya.

“Nanti kalian juga tahu. Ya sudah, Ayah turun dulu. Kalian juga bersiaplah, sebentar lagi azan mahgrib.” Pak Burhan bergegas keluar kamar, diikuti Ali yang mencoba mencari informasi tentang tamu yang akan datang nanti.

“Aah mungkinkah dia Kak Miftah? Bukankah dia dulu berjanji akan datang untuk menikahiku saat aku lulus kuliah,” gumam Shifa penuh harap.

*
Waktu yang ditunggu pun telah tiba. Shifa sedang mengganti pakaian, agar terlihat lebih rapih. Suara mobil terdengar memasuki gerbang rumah. Shifa ingin mengintip dari jendela, siapa sebenarnya tamu yang di maksud oleh Ayahnya, namun saat wajahnya hampir saja melongok ke jendela, tiba-tiba Ali menggendor pintu kamarnya.

“Dek, apa kamu sudah siap?”

Shifa bergegas membuka pintu kamarnya.
“Abang, dirimu selalu saja mengagetkanku. Memangnya siapa sih tamu itu?”

“Entahlah. Lebih baik kita turun yuk.”

“Baiklah Abangku sayang.”

Ali tersenyum melihat adiknya yang masih kelihatan murung. Mereka berdua menuruni anak tangga. Terdengar ayah dan ibu mulai berbincang-bincang dengan tamunya. Betapa terkejutnya Shifa saat melihat tamu yang sedang duduk di ruang tamu. Dua orang laki-laki dan satu lagi seorang perempuan. Wajah-wajah yang tidak asing lagi baginya, kecuali seorang pria paruh baya. Tamu itu tak lain adalah Candra.

Hatinya masih bertanya-tanya tentang tujuan kedatangan Candra dan keluarganya, sedangkan hatinya bergemuruh lebur semua harapan yang ada. Shifa pikir yang akan datang malam ini adalah Kak Miftah, Si alim yang mampu menempati hatinya.

Shifa berusaha tersenyum memberi salam pada Candra dan keluarganya. Dan mencium tangan ibunya Candra sebagai tanda penghormatan pada wanita yang lebih tua. Ibunya Candra merasa sangat senang, senyum terukir indah dengan sapa yang sangat ramah dari wanita itu.

Shifa kembali ke dapur, untuk menyiapkan hidangan dan jamuan makan malam. Shifa masih terus bertanya dalam hatinya tentang tujuan kedatangan Candra. Saat Shifa sedang menyiapkan hidangan ke meja makan, dia tak sengaja mendengar percakapan ibunya candra dengan ayahnya. Tentang tujuan kedatangannya untuk melamar menjadi isteri Candra. Shifa yang sesaat sedang memegang piring, langsung kaget, hingga piring yang dipegangnya terjatuh ke lantai.

Ali yang merasa panic dengan suara pecahan piring langsung berlari menghampiri Shifa.

“Ada apa Dek?” tanyanya panik mendapati Shifa yang sedang merapihkan pecahan beling.
Shifa hanya menggeleng tanpa kata. Tangganya masih sibuk membersihkan serpihan beling yang tersisa.

“Apa kamu mendengar ucapan ibunya Candra?”
Shifa mengangguk. “Shifa hanya kaget Bang.”

Ali berusaha mengerti perasaan Shifa yang mungkin tak siap dengan kabar yang dibawa keluarganya Candra. Sebenarnya gadis itu hanya Waktu terus berlalu, Shifa pun sudah lulus. Tinggal menunggu waktu wisuda yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Seharusnya Shifa merasa senang layaknya teman-teman Shifa yang menikmati kelulusam dengan piknik atau camping. Kali ini justru Shifa lebih terlihat murung, bahkan dia lebih sering menyendiri di kamar.
Ali yang melihat perubahan pada adiknya, terus merasa cemas dan penasaran apa yang membuat adiknya merasa sedih. Dia mulai menaiki anak tangga menuju kamar Shifa. Dilihatnya kamar adiknya tertutup rapat. Ali mencoba mengetuk pintu perlahan.
“Dek apa boleh Abang masuk?” ucap Ali dari balik pintu.
Ali masih menunggu beberapa saat, namun belum ada jawaban dari Shifa. Dia kembali mengulangi ucapannya seraya mengetuk pintu hingga tiga kali.
“Iya Bang, masuk saja. Tidak dikunci.”
Perlahan ali memegang gagang pintu dan membukanya perlahan. Dilihat adiknya sedang berdiri di depan jendela.
“Dek kamu kenapa? Ahir-ahir ini Abang lihat, kamu sering menyendiri di kamar.”
“Tidak apa-apa Bang, Shifa baik-baik saja,” jawab Shifa datar.
“Raut wajah dan matamu tidak bisa membohongi Abang. Bagaimana kalau kita liburan sekeluarga saja Dek. Ya, hitung-hitung merayakan kelulusanmu,” ucapnya lagi dengan ekpresi penuh semangat.
“Shifa sedang tak ingin pergi kemana-mana Bang.” Shifa kembali membisu. Matanya masih menatap langit senja dari jendela kamarnya. “Bang ternyata menunggu itu sangat menyiksa ya,” ucapnya kembali.
“Memang siapa yang kamu tunggu Dek?” tanya Ali semakin penasaran.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Shifa dengan nada datar yang sama.
Saat Ali berusaha membujuk Shifa untuk menceritakan masalah yang sedang dia hadapi, tiba-tiba ayahnya sudah berdiri di depan pintu.
“Oh ternyata kalian ada disini.” Pak Burhan memasuki kamar Shifa dan duduk di ranjang. “Shifa nanti badha Isya akan ada tamu yang datang.”
“Tamu siapa, Yah? Tamu Ayah atau tamu Shifa?” tanya Shifa pada Ayahnya.
“Tamu untuk kita semua, jadi nanti Ayah harap kalian menyambut tamu dengan ramah.
“Memang siapa sih, Yah?” tanya Ali dengan kerutan di keningnya.
“Nanti kalian juga tahu. Ya sudah, Ayah turun dulu. Kalian juga bersiaplah, sebentar lagi azan mahgrib.” Pak Burhan bergegas keluar kamar, diikuti Ali yang mencoba mencari informasi tentang tamu yang akan datang nanti.
“Aah mungkinkah dia Kak Miftah? Bukankah dia dulu berjanji akan datang untuk menikahiku saat aku lulus kuliah,” gumam Shifa penuh harap.

*
Waktu yang ditunggu pun telah tiba. Shifa sedang mengganti pakaian, agar terlihat lebih rapih. Suara mobil terdengar memasuki gerbang rumah. Shifa ingin mengintip dari jendela, siapa sebenarnya tamu yang di maksud oleh Ayahnya, namun saat wajahnya hampir saja melongok ke jendela, tiba-tiba Ali menggendor pintu kamarnya.
“Dek, apa kamu sudah siap?”
Shifa bergegas membuka pintu kamarnya.
“Abang, dirimu selalu saja mengagetkanku. Memangnya siapa sih tamu itu?”
“Entahlah. Lebih baik kita turun yuk.”
“Baiklah Abangku sayang.”
Ali tersenyum melihat adiknya yang masih kelihatan murung. Mereka berdua menuruni anak tangga. Terdengar ayah dan ibu mulai berbincang-bincang dengan tamunya. Betapa terkejutnya Shifa saat melihat tamu yang sedang duduk di ruang tamu. Dua orang laki-laki dan satu lagi seorang perempuan. Wajah-wajah yang tidak asing lagi baginya, kecuali seorang pria paruh baya. Tamu itu tak lain adalah Candra.

Hatinya masih bertanya-tanya tentang tujuan kedatangan Candra dan keluarganya, sedangkan hatinya bergemuruh lebur semua harapan yang ada. Shifa pikir yang akan datang malam ini adalah Kak Miftah, Si alim yang mampu menempati hatinya.

Shifa berusaha tersenyum memberi salam pada Candra dan keluarganya. Dan mencium tangan ibunya Candra sebagai tanda penghormatan pada wanita yang lebih tua. Ibunya Candra merasa sangat senang, senyum terukir indah dengan sapa yang sangat ramah dari wanita itu.

Shifa kembali ke dapur, untuk menyiapkan hidangan dan jamuan makan malam. Shifa masih terus bertanya dalam hatinya tentang tujuan kedatangan Candra. Saat Shifa sedang menyiapkan hidangan ke meja makan, dia tak sengaja mendengar percakapan ibunya candra dengan ayahnya. Tentang tujuan kedatangannya untuk melamar menjadi isteri Candra. Shifa yang sesaat sedang memegang piring, langsung kaget, hingga piring yang dipegangnya terjatuh ke lantai.

Ali yang merasa panik dengan suara pecahan piring langsung berlari menghampiri Shifa.

“Ada apa Dek?” tanyanya panik mendapati Shifa yang sedang merapihkan pecahan beling.
Shifa hanya menggeleng tanpa kata. Tangganya masih sibuk membersihkan serpihan beling yang tersisa.

“Apa kamu mendengar ucapan ibunya Candra?”
Shifa mengangguk. “Shifa hanya kaget Bang.”

Ali berusaha mengerti perasaan Shifa yang mungkin tak siap dengan kabar yang dibawa keluarganya Candra. Sebenarnya gadis itu hanya bingung bagaimana nanti dia memberi jawaban kepada Candra. Laki-laki yang pernah menolongnya dari kehancuran masa depan dan hidupnya. Shifa merasa berhutang budi kepadanya. Namun hatinya masih milik Miftah, laki-laki yang telah mampu mencuri hatinya.

Ali mengajaknya kembali ke ruang tamu. Shifa duduk disamping kakaknya, mendengarkan semua percakapan dari paman dan ibunya Candra. Sesekali tatapan Shifa beradu pada Candra. Senyum Candra terlihat indah seolah mewakili sebuah pengharapan pada Shifa.

Ayah dan ibu Shifa sangat bersikap bijak, mereka tidak langsung memberi keputusan pada keluarga Candra. Mereka menyerahkan semuanya pada Shifa dan memohon waktu untuk Shifa berpikir. Hingga akhirnya sebuah kesepakatan telah disetujui, Shifa akan memberi jawaban satu pekan berikutnya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus