DESTINASI CINTA part 10

Siang ini langit terlihat redup. Mentari bersembunyi diantara awan-awan kelabu, layaknya gadis dalam pingitan. Sesekali sinarnya mengintip bumi, namun awan kembali berarak menyelimutinya. Suasana Masjid Nur Huda masih ramai jamaah yang telah melaksanakan sholat jumat.

Shifa dan ibunya pun usai melaksanakan sholat dzuhur. Suasana masjid semakin lengang, karena sebagian jamaah telah pulang. Beberapa jamaah wanita dari lantai atas mulai menuruni anak tangga menuju lantai satu. Ali dan ayahnya mulai berkumpul mendekati arah mimbar, menuju sekelompok orang yang telah duduk melingkar.

Angin di luar berembus kencang. Terlihat ranting pepohonan berayun-ayun mengikuti terpaan angin. Shifa dan ibunya segera turun ke lantai bawah, setelah ada pengumuman bahwa proses pembacaan dua kalimat syahadat akan segera dimulai.

Tampak seorang wanita seumuran ibu mengenakan gamis putih duduk disamping laki-laki berbaju koko putih dan kopyah hitam. Laki-laki yang tak asing lagi bagi Shifa. Dia adalah Candra.

Tangan kanan Candra masih mengenggam lengan wanita yang ada disampingnya. Candra menatap wajah wanita itu dan di balas dengan anggukan serta disusul oleh kedipan mata. Candra tersenyum hingga garis di antara kedua sudut bibirnya terukir indah.

Suasana semakin khidmat. Beberapa warga dan tokoh masyarakat berkumpul. Suasana semakin hening saat seorang kyai memandu candra mengucapkan dua kalimat syahadat. Butiran bening menetes dikelopak mata wanita yang sejak tadi berada disampingnya. Candra mencium lengan wanita bergamis putih dan segera dibalas dengan kecupan di kening Candra.

Shifa dan keluarganya mulai mendekat ke arah Candra yang masih sibuk dengan jabatan tangan para warga yang memberikan ucapan selamat dan doa. Sesaat pandangan candra menoleh ke arah Shifa. Candra bergegas menghampiri Shifa dan keluarganya.

“Alhamdulillah Bapak sekeluarga hadir juga di sini,” ucap Candra. Nada suaranya sangat ringan penuh senyum bahagia.

“Selamat ya Candra, semoga istiqomah,” ucap Pak Burhan, ayah Shifa seraya menjabat tangan Candra.

“Alhamdulillah akhirnya kita jadi saudara seagama ya Pak,” ucap Shifa dengan seringai indah di bibirnya.

“Aamiin …,” jawab Candra.

“Nak, ini siapa?” tanya wanita bergamis putih tiba-tiba mengahampiri Candra yang masih berbincang dengan keluarga Shifa.

“Oh ibu, kenalkan ini Pak Burhan dan keluarganya. Beliau kepala sekolah tempat Candra mengajar,” jelas Candra pada ibunya. “Pak, Bu, kenalkan ini ibu saya,” ucapnya lagi pada Pak Burhan.

“Gadis ini siapa Nak? Subhanallah cantik sekali?” tanya ibunya lagi.

“Perkenalkan Bu, nama saya Shifa, anaknya Pak Burhan, dan yang disamping saya adalah Ali, kakak saya,” ucap Shifa seraya mengulurkan tangan pada Ibu Candra.

“Kamu cantik sekali Nak.”

“Aah …, ibu bisa saja.” Shifa tersipu malu, pipinya merona merah.

“Awas hati-hati, besok kamu dilamar sama ibunya Candra,” bisik Ali pada Shifa.
Shifa langsung mengerucutkan bibirnya, matanya melirik tajam penuh ancaman pada Ali. Ali terkikih melihat raut muka adiknya.

“Ya sudah, ayo sekarang kita kerumah, ada syukuran kecil-kecilan,” ucap ibunya Candra.

“Maaf Bu, sepertinya saya tidak bisa ikut. Saya sudah ada janji lain, mungkin ayah dan ibu bisa ikut,” jawab Shifa.

“Oh ya sudah tak papa, tapi lain kali jangan menolak ya,” saut ibunya Candra.
Shifa hanya membalas dengan senyum tanpa mengiyakan tawaran ibunya Candra. Shifa pamit pulang, disusul dengan Ali yang mengikuti langkah adiknya.

“Bang kenapa Abang ikut Shifa? Shifa bisa naik taksi.”

“Abang nggak akan membiarkanmu pergi sendiri. Abang sudah janji, selalu menjagamu.”

“Ok, tapi sampai kapan Abang ikutin Shifa?”

“Sampai ada laki-laki yang akan menjagamu.”

“Aaah Abang selalu itu yang di bahas.”

Shifa dan Ali masih beradu pendapat. Shifa merasa seperti anak kecil yang selalu harus dijaga oleh kakaknya. Namun dalam hati kecilnya Shifa merasa sangat bersyukur karena memiliki kakak yang sangat sayang, perhatihan dan peduli kepadanya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus