DESTINASI CINTA part 1

Mungkin terlalu sering Shifa menyaksikan hujan, sehingga dia tak pernah takjub akan keheningan dan kekhusyukan yang diciptakan hujan di altar rumahnya. Berdenting, bergemericik layaknya sebuah tembang cinta yang penuh kerinduan.

Petang itu Shifa masih termenung menatap ke arah luar, dari jendela kamar. Air hujan dari atap rumah menetes menghasilkan irama. Pandanganya kosong. Ada setumpuk rasa gundah nan gelisah yang menyusup pelan dalam hati.

Tiba-tiba sekilas bayangan alim dengan senyum yang merona seolah menyapa lamunan. Tutur kata yang lembut menghanyutkan lebih dalam lagi imajinasinya. Dia tersentak kaget ketika suara handpone berdering lantang. Hampir saja dia melupakan semua tugas dan tanggung jawab. Makalah untuk bahan presentasi esok hari belum diketik. Data tentang tugas dan acara bakti sosial besok sore pun belum dikirim.

Sesaat  Shifa mengantur napas, mengembuskan beban berat yang melenakan. Menyalahkan kelalaian yang telah dia lakukan. Tangannya mulai meraih laptop warna putih dan bergegas berselancar dengan laptop kesayangan. Jemari lentik tampak menari-nari dengan lincahnya menekan tombol tut pada keyboard. Sedangkan tatapannya terarah dengan penuh konsentrasi ke arah barisan kata-kata di layar monitor.

Entah kenapa belakangan ini, Shifa merasa lebih mudah melalaikan tugas. Konsentrasinya buyar, kacau, berantakan. Shifa kembali mengembuskan napas yang rasanya sesak di dada. Entah apa yang tejadi dengan hatinya, ada rasa sedih yang sangat dahsyat yang entah datangnya dari mana dan dengan alasan apa? Seolah ada pertengkaran dalam nurani.

*
Hari ini cukup menguras energi. Sepulang kuliah, Shifa langsung bergegas dengan teman-teman organisasinya untuk melaksakan bakti sosial hingga hari menjelang maghrib. Akhirnya dia putuskan untuk sholat di masjid terdekat. Sementara teman-teman yang lainnya langsung meluncur ke kampus karena ada kuliah malam.  Sebagian yang lainnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka semua memang orang yang sibuk. Orang-orang yang penuh dengan kegiatan.

Hari semakin gelap, Shifa bergegas pulang. Namun masih harus berjalan lima ratus meter hingga jalan raya. Karena hanya dari sanalah dia bisa mendapatkan angkot.

Jajaran pohon palem berdiri tegar di sepanjang trotoar dilaluinya dengan langkah lelah. Hanya ada sedikit penerangan dari lampu-lampu jalan. Sunyi, sepi yang Shifa rasakan. Langkahnya semakin cepat. Seketika aliran darahnya berdesir cukup keras. Detak jantungnya berdegup lebih kencang saat ada suara motor yang mulai mengiringi langkahnya. Ada rasa takut dan cemas yang mulai menyusup di hatinya. Sifa tak berani menoleh ke arah pengendara motor. Pikiran buruk mulai melintas di kepalanya. Karena belakangan ini memang banyak kasus kejahatan yang terjadi.

“Assalamualaikum. Dik Shifa jangan takut, ini saya Miftah,” ucap laki-laki dari balik helm. Laju motor berhenti tepat di samping Shifa.

“Waalaikumsalam.” Shifa menoleh ke arah pengendara motor. Diperhatikan dengan seksama wajah laki-laki yang terlihat samar karena penerangan yang cukup minim di jalan.
Shifa kembali gugup. Ternyata laki-laki yang ada dihadapannya kini, adalah Si alim yang telah mengganggu pikirannya saat ini.

“Maaf Dik, tidak ada maksud apa-apa. Kakak hanya ingin menawarkan untuk pulang bersama. Ini sudah malam, rasanya tak tega melihat Dik Shifa berjalan sendirian di tempat yang sunyi. Kalau Adik menolak, setidaknya Kakak kantar sampai di depan jalan raya,” tuturnya lembut.

Shifa mulai bimbang dengan tawaran Miftah. Pipinya merona. Untung saja hari sudah gelap, hingga dia mampu menyamarkan warna pipinya yang merah dari hadapan laki-laki yang sedang mengganggu pikiran dan hatinya.

“Kenapa Dik? Kok diam?” tanya Miftah kembali pada Shifa yang masih berdiri membisu.
“Bababaiklah Kak, tapi sampai jalan depan saja ya,” jawab Shifa gugup seraya berjalan pelan mendekat pada motor Ali.

Shifa duduk miring. Dia berusaha menjaga jarak agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan punggung Miftah. Debaran-debaran yang tak beraturan mulai berdegup di jantungnya. Tanggan yang memegang besi jok gemetar, saat motor yang dikendarai Miftah mulai melaju. Namun, jauh di dalam lubuk hati Shifa, bunga-bunga kecil mulai bermekaran indah. Senyum simpul mulai terukir di bibirnya yang manis hingga membentuk lekungan indah di sudut pipi.

‘Ya Allah …, apa yang aku rasakan ini? Benarkah cinta telah menghampiriku? Jika memang benar ini cinta, aku mohon jagalah cinta ini agar kadarnya tidak melebihi cintaku kepadaMu. Ya Allah, sembunyikanlah rasa ini dari makhlukMu itu. Karena sungguh aku takut rasa cintaku akan menjadi tunanetra dan mati rasa. Biar kupendam rasa ini, dan cukup hanya Engkau yang tahu. Hingga nanti, jika Engkau benar-benar menjodohkannya untukku.’ Gumam Shifa dalam hati.

Tanpa terasa mereka pun sudah sampai di jalan raya. Shifa bergegas turun, tangannya sibuk merapihkan gamis dan tas yang dislempangkan di bahunya.

“Terimakasih ya Kak, atas tumpangannya,” ucap Shifa pada Miftah.

“Sama-sama Dik. Apa tidak lebih baik, Kakak antar sampai rumah?” tanya Miftah pada Shifa yang pandangannya sibuk menanti angkot.

“Itu ada angkot Kak. Saya pulang dulu ya. Sekali lagi terimakasih, assalamualaikum,” ucap Shifa seraya bergegas meninggalkan Miftah yang masih diam ditempat, hingga bayangannya hilang oleh jarak.

***
Bersambung

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus