Teror Malam

Bayangan hitam kebali berkelebat tepat di hadapan Farel. Angin semakin kencang berembus hingga menusuk ke dalam jaket tebal yang di kenakan Farel. Laju motor sedikit oleng saat melintasi jalan bebatuan terjal, tepat di sisi pemakaman umum. Lampu sorot motor tak cukup untuk menerangi semua sisi jalan.

Matanya terbuka lebar, menatap pohon kamboja besar di sisi kanan jalan. Detak jantungnya berdegup sangat kencang. Bulu-bulu roma di tengkuknya mulai menggamang hingga menjalar ke tangan. Laju motor terasa berat, ujung jalan pun terasa semakin jauh. Farel merasa ada yang memperhatikan dari atas pohon kamboja besar. Sosok wanita berambut panjang sedang asik duduk seraya mengayun-ayunkan kakinya yang tertutup gaun putih panjang.  Tangan dengan kuku hitam panjang membelai rambut yang terurai acak-acakan. Bola mata besar hitam dengan wajah pucat pasi terkekeh. Tawanya semakin terdengar nyaring. Secara bersamaan tiba-tiba motor Farel mogok. Terhenti tepat di samping pohon besar dimana sosok wanita bergaun putih menyeringaikan giginya.

Farel terus berusaha menekan tombol starter. Tangannya gemetar, kakinya terasa lemas. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Dadanya sesak terhimpit rasa takut. Matanya tak lagi menatap ke arah sosok wanita tadi. Dia menunduk, berusaha fokus pada motornya yang masih belum menyala. Walau sebenarnya dia nyaris ingin lari dan meninggalkan motornya.

Farel mencoba memejamkan mata sesaat. Mencoba mengatur napasnya. Bibirnya terlihat komat-kamit membaca doa. Beberapa menit kemudian mesin motornya pun menyala. Farel segera menancap gas, berusaha melaju secepat mungkin dan berharap segera memasuki pemukiman warga. Suara tawa yang mengikik lambat laun terdengar lirih dan menghilang dari pendengarannya. Mulutnya masih terus melantunkan doa, hingga dia pun mulai memasuki pemukiman warga.

“Assalamualaikum,”  Ucap Farel pada beberapa warga yang sedang berjaga di pos ronda. Farel langsung turun dari motornya. Napasnya masih terengah-engah. Dipegang lututnya yang terasa sangat lemas.

“Waalaikumsalam. Ada apa De? Kau terlihat sangat ketakutan.” Tanya salah satu warga berpeci putih yang menyaksikan gurat takut di wajah farel.

Farel pun mulai menceritakan tentang kejadian yang menimpanya barusan.

“Ternyata hari ini kamu korbannya De. Di pemakaman itu memang sering sekali
yang ditakut-takuti saat melintas di malam hari. Khususnya warga luar sana.”

“Jujur perjalanan saya masih jauh, saya takut untuk melanjutkan perjalanan.” Farel mulai duduk di pos ronda.

“Lebih baik malam ini, Ade menginap di kampung ini, dan melanjutkan perjalan besok pagi.”

“Tapi," ucap Farel bimbang, ada gurat cemas di keningnya. Sesaat matanya melirik ke atas, pikiraanya berkelana pada pengalaman mengerikan yang tdi dia alami.

“Biasanya kalau sudah di takut-takuti, selanjutnya juga akan ada penampakan lain. Apalagi di depan sana ada hutan yang cukup panjang, sebelum Ade tiba di desa yang akan Ade tuju.”

“Baiklah saya akan menemani bapak-bapak meronda,” ucap farel.

“Tidak perlu De, Ayo bapak antar ke rumah pak kyai Umar, kebetulan beliau pemikik pondok pesantren di kampung ini. Ade bisa menginap disana bersama santri.”  Bapak berpeci putih menepuk pundak Farel an tersenyum padanya.

Farel mengangguk setuju. Senyumnya terukir. Perlahan rasa takut dan kecemasannya hilang. Setidaknya malam ini dia bisa menenangkan diri. Atau malah dia bisa berguru dengan kyai Umar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus