JANJI di ATAS BATU NISAN


Malam ini terlihat langit berbalut sinar bintang yang berkilauan dari jarak beribu-ribu mil di atas permukaan bumi. Cahaya rembulan tampak indah menyeringai. Denis, anak desa dari lereng bukit yang membawa harapan besar dikota metropolitan demi mencapai impian menjadi sarjana, tersenyum puas dalam hati. Satu pekan lagi dia akan wisuda, bahkan dia sudah mendapat tawaran yang luar biasa dari perusahaan dimana kini dia bekerja. Bonus pergi ke Jepang setelah wisuda. Tentu bukan hanya sekedar berwisata, dia terpilih menjadi wakil karyawan yang akan melakukan pertukaran pekerja antar Negara, mewakili Indonesia. Impian yang sudah lama dinantikan, karena selama training tiga bulan di Jepang dia mempunyai kesempatan untuk perpanjang kontrak kerja dua tahun di Jepang.

Terbayang wajah Ayahnya yang sejak dulu selalu memberi semangat, untuk membuatnya menjadi seorang yang berpendidikan tinggi. Walau ayahnya hanya seorang petani miskin yang hidup penuh kesederhanaan, tapi ayahnya selalu berjuang untuk Denis agar bisa kuliah.

“Bapak! Denis sebentar lagi resmi jadi sarjana Pak,” desisnya dan air mata kebahagian mulai mengintip di balik kelopaknya.
Denis langsung meraih hapenya, dia sudah tak sabar memberikan kabar bahagia pada ayahnya dan keluarganya dikampung. Berkali-kali Denis menghubungi nomor Ayu, adiknya tapi masih belum diangkat. Ada rasa cemas yang menyelinap di hatinya. Tiba-tiba handphonenya berdering, dilihat sebuah panggilan dari Ayu.

“Assalamualaikum, Ayu kemana saja? Mas telepon dari tadi tidak diangkat,” Denis nyerocos.

“Waalaikumsalam, Mas...Bapak Mas!” Ayu menangis sesenggukan.

“Bapak kenapa De? Bapak kenapa!” Denis semakin cemas.
“Bapak baru saja meninggal,” Jawabnya singkat disambung dengan suara isak.

“Jangan becanda De, nggak lucu, satu minggu yang lalu saat Mas telepon, Bapak baik-baik saja bahkan dia masih bercanda sama Mas.”

“Ayu nggak bohong Mas, Sebenarnya Bapak sudah satu bulan sakit, tapi Bapak melarang kita untuk memberi kabar ini ke Mas. Bapak takut menganggu pikiran Mas yang sedang sibuk,” Begitu berat suara Ayu terdengar.

Denis tak kuat lagi menggenggam hapenya. Lemas disekujur tubuhnya, seolah tak ada tulang belulang yang mengikat daging. Air mata terus berderai tak terbendung lagi. Rasa sesal yang begitu dalam tak mampu disembunyikan.

“Pak kenapa Bapak pergi secepat ini? Denis baru saja mau memberi kabar bahagia,” Denis terus berkata, menyesal karena tak mampu membahagiakan ayahnya.

Denis mulai sibuk menghubungi beberapa temanya yang punya mobil. Karena bus jurusan Jogja sudah berangkat sejak jam empat sore. Denis tak mau lebih menyesal lagi tidak bisa melihat ayahnya untuk terakhir kalinya, jika dia menunggu bus yang berangkat jam tujuh pagi.

Yah dia sudah hapal jadwal keberangkatan bus jurusan Jogja. Sampai ahirnya Denis mendapat rentalan gratis dari salah satu sahabatnya bernama Agus. Denis yang disupiri Agus sahabatnya sendiri langsung bergegas menuju Jogja.

***

Pagi itu Kota Jogja terlihat mendung. Kota yang biasanya begitu indah di pagi hari, kini tampak suram. Suasana hati laki-laki yang duduk di samping kemudi seperti hancur dan tak ada gairah lagi. Memasuki perkampungan, melintasi sebuah masjid. Denis langsung terbayang kenangan saat dia berjalan beriringan dengan ayahnya, pulang dari masjid untuk sholat berjamaah. Butiran embun merebak membasahi pipinya, saat terlihat berdera kuning tertancap di gang menuju rumahnya. Banyak warga yang berlalu lalang berpakaian hitam.

“Bapaaak!,” Denis berlari memasuki rumah yang sudah ramai dengan orang-orang berpakaian hitam. Rasa duka begitu terasa di dalam rumah itu. Tangisan terdengar di depan tubuh yang terbujur kaku tertutup kain. Ibundanya duduk lemas, bersandar di dinding. Adik-adiknya pun masih menangis di depan jasad Ayahnya.

“Pak, kenapa Bapak begitu cepat meninggalkan Denis. Bapak janji akan menghadiri acara wisuda Denis,” Denis mengecup kening Ayahnya yang sudah tak bernapas lagi. Dipandangi wajah laki-laki yang begitu tulus dan ikhlas memberiya semangat. Laki-laki yang berkorban dan sangat berjasa membuatnya sukses.

“Sudah Denis, biarkan Bapakmu istirahat dengan tenang,” Suara ibunya merangkul Denis. Mereka larut dalam linangan air mata.

Acara pemakaman begitu terlihat syahdu dalam balutan rasa duka yang berkubang. Keheningan sesaat setelah jasad ayahnya tertutup rapat dengan tanah. Hanya ada taburan bunga-bunga yang menghiasi. Doa terlantun meninggalkan Jasad kaku yang terkubur didalam.

“Bapak, kini Aku hanya bisa bersimpuh diatas pusaramu. Maafkan Denis yang belum bisa membahagiakanmu. Maafkan atas dosa dan kesalahanku, Denis akan terus berusaha membahagiakan ibu dan adik-adik,” Air mata menetes jatuh dari pipi laki-laki yang sangat menyayangi ayahnya. Laki-laki yang pernah berjanji untuk membahagiakan ayah dan keluarganya. Namun, janji ini seolah sirna tertutup batu nisan.

***

Jangan lupa tinggalkan pesan, saran dan kritik ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semangkuk Ramen

RINDU NOVEMBER

Bagai Hujan di Padang Tandus